9.Tari Payung (sumut)
Tari Kipas Pakarena merupakan tarian yang berasal dari Gowa,
Sulawesi Selatan. Kata pakarena sendiri berasal dari bahasa setempat yakni
karena yang berarti main. Tarian ini merupakan salah satu tradisi di kalangan
masayarakat Gowa yang masih dipertahankan sampai saat ini. Masyarakat Gowa
sendiri adalah masyarakat yang tinggal di daerah bekas kekuasaan kerajaan Gowa.
Kerajaan gowa berdiri sekitar abad ke 16 dan mencapai masa kejayaan di abad
ke-18 kemudian mengalami keruntuhan di abad itu juga. Seluruh bagian Sulawesi
Selatan merupakan wilayah kekuasaan kerajaan gowa sehingga masyarakat asli yang
tinggal di daerah tersebut dikenal dengan masyarakat Gowa. Hegemoni kerajaan
Gowa yang berlangsung berabad-abad turut mempengaruhi corak kebudayaan
masyarakat Gowa. Tari Kipas Pakarena merupakan salah satu bukti kekuatan
tradisi masyarakat Gowa yang masih dipercaya dan dipertahankan sebagai warisan
budaya yang tak ternilai harganya.
Tari kipas pakarena mencerminkan ekspresi kelembutan,kesantunan, kesetiaan, kepatuhan dan sikap hormat perempuan Gowa terhadap laki-laki. Setiap pola gerakan dalam tarian pakarena memiliki makna tersendiri. Tarian ini diawali dan diakhiri dengan posisi duduk sebagai tanda hormat dan santun para penari. Pola gerakan memutar bermakna siklus hidup manusia yang selalu berputar. Pola gerakan memutar yang dimainkan adalah gerakan memutar searah jarum jam. Kemudian pola gerakan naik turun melambangkan kehidupan manusia yang kadang berada di bawah dan kadang di atas,pola gerakan ini mengingatkan akan pentingnya kesabaran dan keasadaran manusia dalam mengahadapi kehidupan.
Tarian ini juga diiringi oleh kelompok musik yang dikenal dengan nama gondrong rinci. Kelompok ini beranggotakan 7 orang pemain musik yang semuanya adalah kaum pria. Tugas dari kelompok musik ini adalah mengiringi para penari dengan tabuhan gandrang sebagai pengatur irama musik dan juga memainkan alat musik tiup berupa seruling. Selain itu kelompok pengiring ini juga harus memainkan alat musik sambil melakukan gerakan, terutama gerakan kepala. Setiap hentakan dari tabuhan gandrang dari pengiring musik melambangkan watak lelaki Gowa yang keras. Keunikan lain yang diliki tarian ini adalah aturan bagi para penari dalam memainkan tarian ini. para penari tidak diperkenankan membuka mata terlalulebar dan mengankat kai terlalu tinggi, hal ini dikarenakan aspek kesopanan dan kesantunan sangat diutamakan dalam tarian ini. Dalam memainkan tarian ini,parapenari dituntut memiliki kondisi fisik yang prima karena durasi tarian bisa mencapai dua jam dengan gerakan-gerakan yang dinamis.
Masyarakat
Gowa percaya bahwa Tarian Kipas Pakarena berasal dari kisah perpisahan antara
penghuni negeri kahyangan (boting langi) dengan penghuni bumi (lino) di zaman
dahulu. Sebelum perpisahan, penghuni boting langi mengajarkan penghuni
bumi cara menjalani hidup dengan bercocok tanam,berburu dan beternak melalui
gerakan-gerakan badan dan kaki. Gerakan-gerakan ini kemudian digunakanoleh
penghuni lino untuk mengungkapkan rasa syukur kepada penghuni boting langi.
Masyarakat
Gowa biasanya mementaskan Tari Kipas Pakarena di acara- acara adat atau
acara-acara hiburan. Akan tetapi, masyarakat Gowa tidak menganggap tarian ini
hanya sebagai hiburan saja tapi juga sebagai wujud rasa syukur yang
dilambangkan dengan setiap gerakan yang estetik dari tarian ini. Selain
memiliki nilai hiburan dan nilai filosofi bagi masyarkat Gowa, tarian ini juga
menjadi salah satu daya tarik pariwisata bagi provinsi Sulawesi Selatan
sehingga tarian ini seringkali dipentaskan dalam rangkaian acara promosi
pariwisata provinsi Sulawesi Selatan.
Tari Payung adalah tari tradisional dari Sumatra Barat. Tarian ini membawakan cerita tentang hubungan asmara di antara muda-mudi. Payung menjadi atribut penting dalam tarian ini, sebagai perlambang penyatuan tujuan dua insan menuju kebahagiaan cinta. Hingga hari ini, Tari Payung masih lestari di tengah masyarakat Minangkabau, bahkan berkembang dengan variasi-variasi baru.
Tari
payung dibawakan oleh para penari yang jumlahnya genap, di mana mereka
berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan. Para penari laki-laki datang
menghampiri pasangan mereka masing-masing dengan payung terkembang, yang
bermakna bahwa dia siap untuk membawa dan melindungi Sang Perempuan menuju
kebahagiaan mahligai rumah tangga. Sementara Sang Perempuan dengan selendangnya
menyambut Sang Lelaki sebagai jawaban, bahwa bersama Sang Lelaki, dia siap
mengarungi jalan jalan cinta mereka.
Selaras
dengan tema cerita yang dibawakan, koreografi Tari Payung mengeksplorasi
interaksi antara penari laki-laki dan perempuan. Lagu yang menjadi pakem dalam
tarian ini berjudul Berbendi-bendi
ke Sungai Tanang, yang bercerita tentang suasana bulan madu
sepasang suami-istri di Sungai Tanang. Lagu tersebut dibawakan dengan hantaran
musik yang dimulai dengan tempo lambat, lebih cepat, hingga sangat cepat.
Berikut
adalah petikan dari lagu tersebut:
Berbendi-bendi ke Sungai Tanang
Babendi-bendi
Babendi..bendi
Ka sungai tanang
Aduhai sayang (2x)
Singgahlah mamatiak..singgahlah mamatiak
Bunga lembayung (2x)
Hati siapo..indak ka sanang aduhai sayang..(2x)
Mailek rang mudo..mailek rang mudo manari payung..(2x)
Hati siapo..hati siapo..indak ka sanang aduhai sayang..(2x)
Mailek si nona..mailek si nona manari payung..(2x)
Berbendi-bendi
Berbendi-bendi
Berbendi-bendi
Ke sungai tenang..aduhai sayang (2x)
Singgahlah memetik..singgahlah memetik bunga lembayung
Hati siapa..hati siapa tidaklah senang aduhai sayang (2x)
Melihat orang muda..melihat orang muda menari payung..
Hati siapa tidaklah senang aduhai sayang (2x)
Melihat si nona..melihat si nona..menari payung(2x)
Dewasa
ini, bermunculan berbagai kreasi baru atas Tari Payung. Kehadiran
sentuhan-sentuhan baru tersebut tentu saja membuat Tari Payung semakin segar
untuk diapresiasi. Namun demikian, hal tersebut bukannya tanpa persoalan. Ada
saja sejumlah praktisi Tari Payung yang tidak sepakat dengan ide-ide untuk
membarukan tarian yang dianggap sarat dengan nilai-nilai tradisi
tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar